JAKARTA - Di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap kondisi lingkungan di Sumatra, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan kembali status perizinan dan kewajiban lingkungan PLTA Batang Toru.
Penjelasan ini disampaikan untuk merespons berbagai laporan yang menautkan aktivitas PLTA dengan kerusakan ekosistem dan banjir bandang.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa PLTA Batang Toru sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) serta memiliki tanggung jawab melakukan penanaman kembali pohon dan penyetoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“PLTA Batang Toru juga punya tugas untuk menanam kembali pohonnya sebanyak 120%,”
Koreksi Informasi dan Kewajiban Pemegang IPPKH
Eniya meluruskan informasi yang dia sampaikan sebelumnya. Ia menegaskan bahwa PLTA Batang Toru tidak hanya memiliki izin, tetapi juga berkewajiban menjalankan dua tanggung jawab utama terkait pemanfaatan kawasan hutan.
“Keduanya, menanam pohon dan menyetor PNBP,” ujarnya.
Klarifikasi ini muncul setelah Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) merilis laporan yang menyebutkan bahwa PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas berkontribusi pada perubahan bentang alam di daerah aliran sungai (DAS) yang berdampak pada banjir bandang.
Dalam laporan itu, disebutkan bahwa kedua proyek memanfaatkan aliran dari salah satu DAS utama di Ekosistem Batang Toru yang kini dipenuhi bendungan, terowongan air, dan infrastruktur lain.
Menurut Eniya, pemahaman tersebut tidak sepenuhnya tepat. Ia menekankan bahwa operasional PLTA justru membutuhkan kondisi ekosistem yang sehat dan debit air stabil untuk dapat berfungsi optimal.
“Jadi, kurang tepat kalau [PLTA] menyebabkan banjir,” ujar Eniya.
Respon KLH dan Dampak Bencana di Sumatra
Pernyataan Eniya juga bersinggungan dengan komentar sebelumnya dari Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq. Hanif mengakui terjadi perubahan bentang alam di wilayah terdampak banjir dan longsor di Sumatra, termasuk di kawasan operasional PLTA dan aktivitas tambang emas.
Sebagai langkah lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) berencana melibatkan berbagai perguruan tinggi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat untuk melakukan kajian komprehensif terkait daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kajian ini akan mempertimbangkan keberadaan perusahaan yang beroperasi di wilayah terdampak banjir serta perubahan ekosistem yang terjadi.
Langkah tersebut diambil agar penanganan bencana dan pengelolaan lingkungan dapat berdiri di atas dasar ilmiah yang kuat, mengingat kawasan Batang Toru memiliki nilai ekologis yang tinggi dan menjadi habitat berbagai spesies langka.
Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Banjir dan Longsor
Sementara diskusi publik terus berjalan, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Badan Nasional Penanggulangan, tercatat:
753 orang meninggal dunia
650 orang hilang
2.600 orang luka-luka
Kerusakan infrastruktur yang ditimbulkan cukup berat, menghambat akses bantuan ke berbagai lokasi terdampak. Jembatan dan jalan utama di sejumlah kabupaten putus, sehingga proses evakuasi dan pengiriman logistik menjadi sangat terhambat.
Situasi ini menyoroti pentingnya mitigasi bencana yang lebih kuat dan pengawasan ketat terhadap kegiatan industri di daerah rawan banjir dan longsor. Bencana yang melanda turut memperkuat urgensi evaluasi perizinan, tata kelola lingkungan, serta kewajiban rehabilitasi kawasan hutan bagi seluruh pemegang izin.